“Malam engkau adalah ibuku, siang engkau adalah ayahku, senja engkau adalah kakakku, dan fajar engkau adalah adiku.Hanya itu yang aku punya sejak tak ada kalian umi dan abiku, kemana kalian pergi?, dimana kalian sekarang?, mengapa kalian meninggalkan aku di rumah baruku yang dingin ini?”,
”apakah tak kau cinta aku?”,
“apakah tak kau rasa aku menyayangimu?”,
“atau karena tak sesempurna mereka wujudku ini sehingga tak kau biarkan aku memeluk tubuh dan menatap kedua bola matamu dengan hatiku yang rapuh ini?”, “sungguh aku telah mencoba mengerti selama waktu berjalan”,
“telah ku coba pahami selama nafasku tersisa, namun tetap tanya itu ada dan terus menghantuiku”,
“selalu setiap malam, setiap hari”,
“selama aku bertemu dengan pergantian hari”,
“aku kecewa, akupun menangis”,
“tapi tak sedikitpun aku merasa marah akan sikap umi dan abi kepadaku”,
“biarlah aku yang memiliki cinta untuk kalian bila kalian tak ingin mencintaiku”, “biarlah aku menjadi tangisan untuk tawa ceria kalian disana”,
“biar aku saja yang bangga akan kalian disini agar tak ada malu bagi kalian disana nantinya”,
“maafkan Syifa,,ayah,ibu”,
“bila tak bisa aku membuat kalian bangga dan memilikiku”,
“namun aku selalu memiliki kalian dalam bayang-bayang lamunku setiap hari”,
“maafkan aku umi abi,,,aku ingin beristirahat karena telah lelah menangisimu setiap hari dan setiap malam”,
“selamat malam dan selamat tidur”,
“dan jangan lupa untuk sholat ya,,,,aku mencintai kalian, umi abi”,
“terima kasih telah melahirkan Syifa kedunia, selamat malam”.
Salam sayang untuk umi dan abi dari Syifa
Syifa Maghfiroh
Bapak dan ibu,Syifa bahagia sekali memiliki bapak dan ibu. Syifa mengerti benar mengapa bapak dan ibu tidak pernah mengijinkan syifa untuk pakai sepasang tangan seperti teman-teman yang lainnya. Ibu dan bapak tidak mau tangan syifa nanti jadi kotor karena menggenggam sesuatu yang tak halalkan?hehehe,, maafkan Syifa ya, kalau Syifa selama ini merepotkan bapak dan ibu karena tidak pakai tangan. Maafkan Syifa juga kalau Syifa sering buat bapak dan ibu menangis karena Syifa selalu bertanya dan ingin melihat tangan Syifa yang ibu dan bapak simpan, Syifa tidak pernah bermaksud membuat bapak dan ibu menjadi sedih. Karena itu, Syifa cuma mau lihat saja, dan memakainya sekali-sekali untuk membantu bapak dan ibu. Tapi Syifa tahu bapak dan ibu sangat sayang Syifa makanya bapak dan ibu tidak mau Syifa pakai tangan Syifa untuk membantu bapak ibu, karena bapak ibu takut Syifa akan capekkan. Syifa tidak apa-apa begini, Syifa masih bisa menulis dengan kaki dan mulut Syifa bu, walau Syifa tidak pernah ke sekolah tapi banyak teman Syifa yang mengajari Syifa caranya membaca dan menulis. Syifa senang dan sayang sekali dengan mereka, tapi Syifa lebih sayang bapak dan ibu. Pak bu, Syifa mau minta tolong, nanti kalau suatu saat umi dan abi Syifa datang tolong sampaikan surat Syifa yang Syifa sudah lipat dan Syifa taruh di bawah tempat tidur ya pak bu, takutnya Syifa saat itu sedang main. Tolong bilang juga kepada mereka Syifa ingin sekali melihat wajah dan kangen sekali sama mereka. Syifa mau dipeluk oleh mereka, Syifa minta tolong ya bu pak, Syifa sudah terlalu lelah menunggu mereka, Syifa mau istirahat dulu ya nanti bangunkan Syifa kalau mereka datang saat Syifa masih tidur, Syifa sayang dan cinta sekali sama bapak dan ibu, selamat malam bapak selamat malam ibu, selamat malam umi dan selamat malam abi semoga Syifa bisa ketemu kalian semua dalam mimpi Syifa malam ini, amin.
Salam sayang dan cinta Syifa untuk bapak dan ibu
Syifa Maghfiroh
Itulah dua surat terakhir gadis cilik bernama Syifa Maghfiroh untuk kedua orang tua kandung dan angkatnya yang hanya sampai kepada bapak Soleh dan ibu Sulastri. Surat untuk kedua orang tua kandungnya sampai kini tak pernah sampai ketujuannya, karena pak Soleh dan ibu Sulastri memang tak pernah tahu siapa orang tua kandung dari Syifa. Syifa banyak sekali menulis surat ketika ia telah dapat menulis dan membaca, ia menulis dengan kaki dan mulutnya. Dalam menulis surat-surat untuk umi dan abinya Syifa terkadang terluka, kulit diantara jari jari kakinya terkadang sampai lecet dan terkelupas. Bisa dibayangkan bagaimana perihnya luka itu, namun Syifa merupakan anak yang tegar, ia yakin suatu saat nanti umi dan abinya bisa membaca surat rindunya tersebut, sehingga Syifa tidak pernah menyerah dan berhenti untuk menuliskan surat itu. Sampai suatu saat kaki Syifa yang masih kecil itu berdarah dan Syifa merasakan kesakitan yang luar biasa. Diapun menangis sendiri menahan sakit itu tanpa sepengetahuan bapak Soleh dan ibu Sulastri. Karena lukanya itu Syifa tidak dapat menulis menggunakan kakinya sampai perih dan sakit itu hilang, namun Syifa tetap berusaha, ia mencari jalan lain untuk menulis ia pun belajar menggunakan bibirnya untuk menggenggam sebuah pensil dan belajar menulis menggunakan mulutnya. Ia pun bisa melakukannya, walau tulisannya yang menggunakan mulut itu berantakan namun tetap masih bisa dibaca. Syifa memang seorang anak yang tegar, dan berjiwa besar. Ia tidak pernah sedikitpun menyerah dengan kondisinya yang tidak sempurna itu, ia percaya dengan kata-kata pak Soleh tentang
“Allah tidak pernah menciptakan mahluk di dunia dengan sempurna masing-masing mahluk memiliki kekurangan yang berbeda tujuannya adalah untuk saling menutupi kekurangan mahluk yang lainnya”. Syifa sangat percaya akan hal itu, oleh karenanya Syifa tidak mau terlihat lemah dan tidak ingin orang lain berbelas kasihan kepadanya. Syifa adalah anak yang memiliki pola fikir yang dewasa untuk anak seusianya. Ia tidak pernah ingin membebani kedua orang tua angkatnya, ia melakukan segala sesuatu sendiri namun tak semuanya dapat Syifa lakukan sendiri. Syifa masih dibantu oleh ibu Sulastri dan pak Soleh untuk urusan tertentu yang memang tidak mungkin untuk dilakukan oleh Syifa seorang diri, semisal membersihkan diri sehabis buang hajat dan yang lainnya.
Syifa Maghfiroh, itu adalah nama pemberian orang tua angkatnya yang diambil dari nama almarhum anak mereka yang telah meninggal dunia saat ibu Sulastri melahirkannya kedunia yang bernama Syifa Maghfiroh juga.
Syifa adalah seorang anak perempuan berusia 7 tahun. Ia memiliki rambut panjang berombak, walau rambutnya tak terurus namun jika dilihat rambut Syifa sangat indah dan tebal. Syifa juga memiliki sepasang mata yang indah dan bening, ketika menatap kedua bola matanya tersebut maka suasana hati seketika menjadi tenang seolah tak ada dosa yang ia miliki di dunia. Kulit Syifa putih dan mulus walau banyak tanah yang menempel dikakinya karena ia tidak mempunyai sandal untuk melindungi kaki kecilnya itu. Syifa adalah seorang anak perempuan yang cantik dan menyenangkan, tak pernah ia terlihat bersedih dan murung di depan kedua orang tua angkatnya dan semua teman-temannya, walau dengan keadaan yang tidak sempurna Syifa seolah tak mempunyai beban akan hal itu, ia selalu tersenyum dengan lebar kepada semua orang, walau hatinya selalu menangis merindukan kasih sayang dan belai lembut kedua orang tuanya. Setiap hari ia selalu menulis surat yang ditujukan untuk kedua orang tua kandungnya.
Surat-surat yang ia tulis menggunakan kaki dan terkadang menggunakan mulutnya itu ia simpan dibawah tempat tidurnya. Ia hanya menulis surat tersebut pada malam hari setelah selesai melaksanakan sholat tahajud dan ketika kedua orang tua angkatnya sudah tertidur. Alasannya karena ia tidak mau kedua orang tua angkatnya bersedih karena ia menulis surat-surat ungkapan kerinduannya terhadap kedua orang tua kandungnya tersebut.
Syifa tak pernah berhenti menulis surat-surat tersebut setiap malam ia selalu terbangun dan menangis ia menahan sendiri kepiluan akan rindu yang semakin memuncak setiap harinya. Ia pun semakin hari semakin terlihat pucat karena sakit yang ia rasakan didalam hatinya. Tak ada seorangpun yang tahu akan hal itu. Ia tidak ingin orang lain tahu. Ia hanya bercerita kepada Allah SWT disetiap sholat yang ia jalani, ia menangis meminta kepada Allah agar dapat bertemu dengan kedua orang tua kandungnya setiap hari setiap waktu. Ia sangat iri ketika melihat teman-temannya memeluk mesra hangat tubuh ibu dan ayahnya, ia pun ingin merasakan hal itu. Setiap kali ia menyaksikan hal itu ia selalu memalingkan muka dan matanya mulai berkaca-kaca ingin menangis namun selalu ia tahan, ia sadar betul iri terhadap sesuatu itu tidak baik jadi ia lebih memilih untuk tidak melihatnya dan segera menggeser pandangannya ke tanah atau ke angkasa seraya berbicara dalam hati kecilnya
“Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah, ya Allah sakit sekali rindu yang aku rasa untuk kedua orang tuaku ya Allah, sakit ya Allah, sakit sekali”
Hanya itu yang bisa dilakukan seorang Syifa kecil melihat hal itu, hanya itu tidak lebih.
Sebelum menghembuskan nafas kecilnya yang terakhir, Syifa sempat menunaikan sholat tahajudnya yang terakhir. Lalu ia pun meninggal ketika ia selesai melakukan sholat tahajud pada malam ulang tahunnya yang jatuh pada hari jumat tanggal 7 bulan 7 tahun 2007 silam karena sakit yang dideritanya entah sejak kapan, Syifa ditemukan meninggal dunia ditempat sholatnya tengah duduk bersilah oleh ibu sulastri, pada jam 5 shubuh. Ketika menemukan Syifa yang telah tiada tersebut ibu Sulastri belum mengetahui bahwa Syifa telah meninggal dunia. Ibu Sulastri berfikir bahwa Syifa telah selesai menunaikan sholat shubuh dan tengah berdoa kepada Allah SWT. Ibu Sulastripun tak ingin mengganggu putri angkat kesayangannya itu, namun setelah satu jam berlalu Syifa masih belum beranjak dari tempat dia duduk dan posisinya masih sama sejak terakhir kali ibu Sulastri melihat Syifa anaknya jam 5 shubuh tadi. Karena khawatir ibu Sulastripun segera menghampiri Syifa dan bertanya kepada almarhum anak angkatnya tersebut
“Syifa anakku, apa kamu tidak apa-apa, mengapa kamu tidak bergerak dari tadi?”
Lalu ketika ibu Sulastri duduk disamping Syifa, tiba-tiba tubuh Syifa jatuh kepelukan ibu Sulastri. Ibu Sulastri terkejut lalu melihat wajah anak angkatnya tersebut, ternyata wajah syifa kecil telah pucat pasih namun masih meninggalkan senyum manis yang terukir di wajahnya yang sudah terasa dingin, seketika itupun ibu Sulastri berteriak sambil menangis memanggil anak angkatnya tersebut
“Syifaaaaaaaaa,,,,,!!!!!!”
Pak Solehpun yang tengah bersiap melakukan pekerjaannya sehari-hari terkejut dan langsung berlari menghampiri istrinya yang berteriak tersebut sambil bertanya dengan nada panik
“Bu ada apa, Syifa kenapa?”
Pak Solehpun terdiam melihat sang istri tengah memeluk anak angkatnya Syifa sambil menangisinya dengan kencang. Pak Soleh tak bisa berkata-kata, fikirannya melanglang buana menuju sesuatu yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Hatinya berdebar kencang, tangan rentanya pun gemetar, mata tuanya mulai bekaca-kaca seraya mendekati perlahan sang istri dan anak angkatnya Syifa yang telah berpulang ke rahmattullah mendahului mereka. Lalu pak Solehpun duduk disebelah istrinya yang tengah tersedu menangis. Tangan rentanya yang gemetar menyibak pelan rambut Syifa yang menutupi muka pucatnya, dan air mata pak Solehpun terjatuh deras tak tertahankan lagi, pak Soleh menangis sambil mengucapkan
“Inalillahi wainailaihi rojiun” dengan suara yang bergetar, lalu ia memeluk istri dan almarhumah anak angkatnya Syifa Maghfiroh yang hari itu telah berpulang ke rahmattullah.
Setelah itu, pak Soleh membaringkan almarhumah putri angkatnya tersebut di tempat yang sebelumnya digunakan Syifa untuk sholat tahajud. Lalu pak Soleh berlari keluar rumah meminta bantuan warga sekitar. Sementara itu ibu Sulastri yang masih memeluk jenazah putri angkatnya itu menemukan dua pucuk surat yang ditulis almarhumah Syifa sebelum ia berpulang ke rahmattullah. Dengan berurai air mata ibu Sulastripun membaca perlahan kedua surat tersebut, dan kembali memeluk erat jenazah putri angkatnya tersebut sambil menciuminya. Lalu wargapun segera berdatangan dan membantu pak Soleh untuk menyiapkan acara pemakaman almarhumah putri angkatnya tersebut sedangkan para istri dari warga yang membantu pak Soleh berusaha menenangkan ibu Sulastri yang shok mengetahui almarhumah Syifa, putri angkatnya telah berpulang kerahmattullah. Warga kampung kecil itu bersama-sama membangun tempat pemandian jenazah untuk almarhumah Syifa. Sebagian lagi berinisiatif mengumpulkan dana untuk membeli kain kafan dan yang lain pergi melapor ke ketua RT setempat.
Mendengar kabar duka tersebut, bapak Aji selaku ketua RT setempat memberikan bantuan untuk mendatangkan ambulance dan menyiapkan lahan untuk tempat memakamkan almarhumah Syifa Maghfiroh. Semua bergotong royong demi almarhumah Syifa.
Segala sesuatu telah siap di rumah duka almarhumah Syifa Maghfiroh. Semua wargapun datang untuk melayat dan memberi semangat kepada pak Soleh dan ibu Sulastri, kemudian salah seorang warga memberi tahu pak Soleh untuk segera memandikan almarhumah Syifa dan segera menyolatkannya. Pak Solehpun segera mengangkat almarhumah Syifa ke tempat pemandian terakhirnya. Pak Soleh terlihat tegar walau ia tak bisa menutupi kesedihannya itu, kemudian dengan dibantu beberapa warga pak Solehpun memandikan jenazah almarhumah putri angkatnya tersebut dengan berurai air mata. Setiap inci tubuh dari Syifa ia bersihkan sampai benar-benar bersih dari najis, kemudian almarhumah Syifapun dikafankan kemudian disolatkan oleh pak Soleh dan warga lainnya. Setelah selesai kembali pak Soleh mengangkat jenazah almarhumah putri angkatnya syifa untuk diletakan di keranda dan dibawa ke rumah abadinya.
Pemakaman almarhumah Syifa diwarnai derai airmata baik dari kedua orang tua angkatnya maupun dari teman-teman dan tetangga yang mengenal Syifa. Semua mendoakan agar almarhumah Syifa diterima disisi Allah SWT. Setelah upacara pemakaman selesai, para warga pun satu persatu meninggalkan tempat pemakaman almarhumah Syifa Magfiroh namun tidak dengan kedua orang tua angkatnya, pak Soleh dan ibu Sulastri. Ibu Sulastri masih menangisi almarhumah anak angkatnya itu, ia sangat merasa terpukul akibat kehilangan putri kesayangannya tersebut. Ibu Sulastri tak bicara, ia hanya berlutut dan menangis dihadapan makam almarhumah anaknya yang telah tertimbun rapi oleh tanah. Pak Soleh yang melihat istrinya meratapi kepergian almarhumah anaknya pun tak kuasa menahan airmatanya. Ia pun kembali menangis dan memeluk istrinya yang tengah menangis. Mereka berdua menangis namun tak ada guna lagi sekarang itu yang pak soleh sadar betul. Kemudian sambil menyeka airmatanya yang keluar deras, pak Soleh berkata kepada istrinya pelan mengajak sang istri untuk pulang
“Ibu mari kita pulang, biarkan Syifa beristirahat dengan tenang disini”
Sang ibu hanya terdiam tak berkata apa-apa. Pak Solehpun kembali mengajak istrinya pulang seraya mengusap air matanya istrinya yang membanjiri pipinya
“Bu mari kita pulang Bu, jangan di tangisi terus nanti Syifa tidak tenang di alamnya sana”
Lalu sang istri menatap lemah pak soleh kemudian berkata
“Pak, Ibu sayang sekali kepada Syifa”
Pak Solehpun menjawabnya
“Iya Bu, Bapak tahu betul sayangnya Ibu terhadap Syifa. Bapak pun demikian sama seperti Ibu, Bapak juga sangat menyayangi Syifa selayaknya anak kandung Bapak sendiri”
Kembali istrinya berkata
“Kenapa ia harus secepat ini pergi Pak?”
Dengan dibalut kesedihan pak Solehpun menjawab dengan suaranya yang bergetar
“Rejeki, jodoh, dan kematian itu rahasia Allah Bu. Kita hanya manusia yang hanya dapat pasrah menerimanya, Allah mungkin punya rencana lain untuk Syifa. Yang sekarang perlu kita lakukan adalah mendoakan Syifa setiap hari agar Syifa dapat tenang disana”
Lalu kembali ibu Sulastri terdiam, pak Soleh mulai beranjak bangun seraya membimbing sang istri bangun dan mengajaknya pulang, sang istripun dengan lemah mengamini ajakan sang suami tanpa berkata apa-apa. Sepanjang jalan pandangan mata ibuSulastri kosong, airmatanya tidak berhenti jatuh diantara pipi-pipinya yang telah dipenuhi oleh keriput tebal yang sangat jelas terlihat. Sang suamipun, pak Soleh tak hentinya menyeka pipi dan mata istrinya yang mengaliri air mata yang deras itu.
Seminggu sudah berlalu sejak hari pemakaman almarhumah Syifa Maghfiroh, namun belum satu patah katapun yang terlontar dari mulut ibu Sulastri.Ia terlihat sangat shock, dan kehilangan, sepertinya ia belum bisa mengiklaskan kepergian sang almarhumah putri angkatnya tersebut. Melihat hal itu, pak Soleh dengan sabar memberi penjelasan kepada sang istri agar sang istri dapat bersikap tegar dalam menerima kenyataan, pak soleh sangat mengerti tentang perasaan istrinya itu, ia tahu bagaimana rasanya ditinggalkan oleh seseorang yang kita sayangi selamanya. Namun terlepas dari itu semua pak Soleh tak pernah lelah memberikan semangat dan pegangan kepada istrinya yang masih terpukul atas kepergian almarhumah Syifa.
Tak terasa sudah hampir sebulan ibu Sulastri berdiam diri, kemudian pada malam hari sebelum tidur tiba-tiba ibu Sulastri bertanya kepada pak Soleh
“Pak sedang apa ya kira-kira Syifa sekarang?”
Pak Soleh kaget, namun tetap menjawab pertanyaan istrinya tenang sambil menatap langit-langit rumahnya yang terbuat dari seng-seng bekas yang telah berkarat
“Ia disana tengah tersenyum Bu, gembira telah pulang dan telah bertemu dengan Allah”
Ibu Sulastripun tersenyum manis dan memeluk sang suami kemudian tertidur dengan lelap. Melihat hal itu pak Soleh tersenyum kemudian mengecup kening istrinya yang tertidur disebelahnya. Kemudian pak Solehpun segera memejamkan matanya untuk tidur.
Malam itu pak Soleh dan ibu Sulastri mendapati mimpi yang sama. Mereka bermimpi Syifa datang dan telah memiliki sepasang tangan. Ia terlihat cantik sekali, penuh cahaya, Syifapun setengah berlari menghampiri pak Soleh dan ibu Sulastri sambil menyebarkan senyuman manis kecilnya kepada mereka seraya memanggil mereka
“Bapak, Ibu,,,,!”
Pak Soleh dan bu Sulastripun kaget dan hanya bisa diam melihat putri kesayangannya datang.Lalu kemudian Syifa memeluk tubuh mereka dan menciumi pipi mereka sambil berkata
“Bapak, Ibu. Syifa kangen sekali”
Lalu air mata ibu Sulastri kembali jatuh saat melihat Syifa anak angkatnya itu kemudian menjawab perkataan Syifa sambil membalas pelukan dan ciuman yang Syifa berikan kepada mereka
“Ibu dan Bapak juga kangen sekali terhadapmu nak, kangen sekali”
Dalam mimpi itu pak Soleh dan ibu Sulastri di ajak bermain oleh Syifa ke sebuah taman penuh dengan bunga dan buah yang segar. Mereka memainkan semua permainan kesukaan Syifa. Dalam mimpi indah itu waktu terasa sangat lama sekali berlalu, semua kerinduan pak Soleh dan ibu Syifa terbayar malam itu. Lalu setelah puas bermain tiba-tiba datanglah dua orang berpakaian serba putih datang untuk menjemput Syifa, mereka memanggil Syifa dengan lembut
“Syifa,,,”
Lalu pak Soleh, ibu Sulastri dan Syifa menolehkan pandangan mereka menuju asal suara yang memanggil nama anak angkat mereka itu. Kemudian pak Soleh dan ibu Sulastri berbisik kepada Syifa dan bertanya lembut kepadanya
“Syifa siapa mereka? apa kamu mengenal mereka?”
“Iya Pak, Ibu. Syifa kenal sekali dengan mereka mari Syifa kenalkan kepada mereka, memangnya Bapak dan Ibu tidak mengenal mereka?”
Jawab Syifa heran.
“Iya kami tidak mengenal mereka nak”
Jawab pak Soleh dan ibu Sulastri bingung.
“Mereka adalah umi dan abi Syifa, Pak Ibu. Mereka sekarang sudah kembali dari pekerjaan mereka, kan Bapak Ibu bilang bahwa mereka menitipkan Syifa karena mereka ingin mencari uang untuk Syifa kan? dan akan menjemput Syifa jika sudah punya banyak uang, dan mereka menepati janji mereka itu Pak Bu, mungkin Bapak dan Ibu pangling ya kepada mereka karena telah lama tak bertemu?”
Jawab Syifa kembali sambil tersenyum.
“Iya mungkin kami pangling dan sedikit lupa terhadap mereka karena kami juga sudah tua jadi sudah agak pikun nak”
Jawab pak Soleh sambil sedikit tertawa. Hal itu sebenarnya merupakan cerita karangan pak Soleh dan ibu Sulastri dulu karena tak ingin anaknya kecewa terhadap orang tua kandungnya tersebut, dan tak mengira bahwa kedua orang tua Syifa itu akan benar-benar kembali menjemput Syifa suatu saat nanti
“Baiklah kalau begitu mari Syifa kenalkan kembali kepada mereka supaya Bapak dan Ibu ingat”
Jawab Syifa seraya menarik tangan pak Soleh dan ibu Sulastri menuju kearah kedua orang yang dikenal Syifa dengan baik. Setelah kedua pasangan tersebut berhadapan Syifapun mengenalkan keduanya. Pak Soleh dan ibu Sulastripun hanya tersenyum melihat kedua orang tua Syifa yang tampan dan cantik itu. Mereka tertegun dan hanya bisa diam, kemudian kedua orang tua Syifapun mengajak Syifa untuk pulang karena sudah sore.
“Syifa anakku mari kita pulang hari sudah sore kasihan pak Soleh dan ibu Sulastri ingin beristirahat”
Dengan polos Syifa menjawab
“Tapi Syifa masih kangen Bapak Ibu, Abi”
Umi dari Syifapun menjawab
“Iya Umi tahu, tapi Syifa sekarang harus pulang nanti kapan-kapan kita main lagi ya nak”
Lalu Syifapun menuruti permintaan uminya tersebut kemudian Syifapun berpamitan kepada pak Soleh dan ibu Sulastri dengan sopan dan lembut
“Bapak Ibu, Syifa pulang dulu ya. Tapi Syifa janji nanti Syifa akan main lagi bersama Bapak dan Ibu”
Lalu Syifapun mencium tangan kedua orang tua angkatnya dan mohon pamit kepada mereka
“Syifa pamit dulu ya Pak Bu, assalamualaikum”
Pak Soleh dan ibu Sulastripun menjawab lembut seraya tersenyum dan melambaikan tangan mereka
“Waalaikum sallam anakku Syifa, hati-hati ya jangan lupa sholat dan jangan lupakan kami”
Syifapun menjawab dengan senyum yang merekah diwajahnya
“Iya Pak, Bu. Syifa tidak akan lupa. Dadah Bapak dadah Ibu, Syifa sayang kalian”
“Kami juga sayang kamu Syifa”
Pak Soleh dan ibu Sulastri menjawab dengan nada bahagia. Mereka memperhatikan Syifa dan kedua orang tuanya berjalan menjauhi mereka lalu hilang ditelan cahaya putih yang menyilaukan. Lalu mereka pun terbangun dari mimpi indah tersebut dan mereka berdua terdiam masing-masing lalu saling bertatapan dan kemudian dengan waktu yang bersamaan mereka berkata histeris kepada satu sama lain
“Pak aku bermimpi”
“Bu aku bermimpi”
Keduanya terdiam kembali sambil tersenyum, lalu pak Soleh mengalah ia membiarkan istrinya bercerita dahulu tentang mimpinya
“Memang Ibu mimpi apa?”
Tanya pak Soleh kepada sang istri.
“Ibu mimpi ketemu Syifa anak kita Pak”
Jawab ibu Sulastri.
“Loh kok mimpi Ibu sama seperti mimpi Bapak, Bu?”
Jawab heran pak Soleh.
“Masa Pak? Bapak mimpi ketemu Syifa juga? memang di dalam mimpi Ibu ada Bapak juga kita bermain dan bercanda bersama Syifa seharian”
Jawab ibu yang juga heran.
“Sama Bu. Di dalam mimpi Bapak juga ada Ibu dan kita juga bermain bersama Syifa sampai sore”
Kembali pak Soleh menjawab dengan heran.
“Kenapa kita mempunyai mimpi yang sama ya Pak?”
Tanya ibu Sulastri bingung.
“Bapak juga tak mengerti Bu, mungkin Allah sengaja mempertemukan kita dengan Syifa didalam mimpi agar kita tak merasakan kesedihan ini berkepanjangan ya Bu”
Jawab pak Soleh.
“Mungkin juga Pak. Ibu janji tidak akan sedih lagi mulai hari ini. Sebaliknya Ibu akan lebih banyak lagi mengirimkan doa kepada Syifa agar ia tenteram di sana”
Kembali ibu menjawab perkataan pak Soleh dengan lembut.
“Iya Bu. Kita harus lebih banyak lagi mengirimkan doa untuk Syifa karena keluarga Syifa cuma kita berdua Bu”
Jawab pak Soleh.
“Iya Pak. Maafkan Ibu ya karena telah larut dalam kesedihan yang berkepanjangan setelah Syifa pergi”
Jawab sang istri seraya mencium tangan kanan suaminya tersebut.
“Iya Bu tak apa-apa, Bapak mengerti. Namun jangan kita larut terus dengan kesedihan dan air mata Bu karena Syifa disana akan menderita ketika kita bersikap seperti itu”
Jawab pak Soleh sambil mengangkat kepala istrinya perlahan.
“Iya Pak, Ibu mengerti. Pak mari kita bersiap untuk sholat shubuh, sebentar lagi pasti adzan shubuh akan berkumandang karena waktu telah menunjukan jam 4.20 pagi Pak”
Jawab ibu Sulastri yang kemudian mengajak sang suami untuk menunaikan ibadah sholat shubuh berjamaah.
“Iya Bu, mari kita bersiap, setelah sholat kita berdoa bersama untuk almarhumah Syifa anak kita ya Bu”
Jawab pak Soleh lembut disertai senyuman.
“Iya Pak mari kita doakan Syifa”
Kembali ibu Sulastri menjawab perkataan pak Soleh.
Setelah selesai menunaikan sholat shubuh dan mendoakan almarhumah Syifa, ibu Sulastri berkata kepada suaminya
“Pak, Ibu belum bilang ke Bapak ya kalau Syifa menitipkan sesuatu kepada kita”
Lalu dengan penasaran pak Solehpun menjawab
“Tidak Bu, Ibu belum bilang apa-apa ke bapak akan hal itu, memangnya apa yang anak kita Syifa titipkan?”
Kembali ibu menjawab tanya pak Soleh seraya mengambil beberapa surat dari balik tempat tidur yang dulunya biasa Syifa pakai.
“Ini Pak, Syifa menitipkan ini semua kepada kita”
Lalu pak Soleh bertanya bingung
“apa ini Bu?”
Lalu ibu Sulastripun menjawab
“Itu adalah surat yang ditulis oleh Syifa untuk kedua orang tua kandungnya”
Lalu pak Solehpun berkata dengan mata yang berkaca-kaca
“Subhanallah, Syifa maafkan kami karena telah berbohong kepadamu. Kami tidak mengenal kedua orang tuamu, jadi kami tidak dapat menyampaikan amanatmu ini nak, maafkan Bapak dan Ibu nak, ya Allah bagaimana ini, hamba tidak bisa memegang amanat anak hamba Syifa ya Allah”
Lalu terjatuhlah air mata pak Soleh karena hal itu, ia menangis dan bingung, namun ibu Sulastri menenangkannya dengan perkataan lembutnya
“Sudah Pak, tidak apa-apa kita simpan saja surat-surat ini siapa tahu saja nanti ada yang mencari kemari”
Lalu pak Soleh menjawab lirih
“Iya Bu”
Mulai dari hari itu pak Soleh dan ibu Sulastri selalu menanti kedatangan orang yang mencari bayi yang dibuang 7 tahun lalu dengan harapan orang tersebut adalah orang tua kandung dari Syifa. Namun tak pernah harapan itu nyata terbayar, kini sudah hampir 3 tahun sejak kepergian Syifa namun masih belum ada orang yang datang untuk menjemput surat-surat tersebut.
Selama penantian ibu Sulastri dan pak Soleh tersebut mereka sering bermimpi bertemu Syifa kerinduan mereka berduapun terobati. Memang Allah maha mengetahui perasaan dan hati manusia, oleh karena itulah mungkin sengaja Allah memberikan mereka mimpi tentang almarhumah Syifa berulang kali.
Pak Soleh dan ibu Sulastri selalu mengenang almarhumah anak angkatnya Syifa Maghfiroh. Hampir setiap hari pasangan ini membicarakan tentang Syifa baik kepada tetangganya ataupun hanya berdua saja mereka bercerita tentang Syifa yang bukanlah seorang anak perempuan yang sempurna. Ia tidak memiliki tangan, sehingga ia tidak dapat menggenggam sesuatu layaknya anak-anak lainnya.
Melihat keluarga pak Soleh dan ibu Sulastri, pak Aji selaku ketua RT setempat melakukan inisiatif untuk melaporkan hal itu ke pihak kepolisian, walau memang sangat terlambat hal itu dilakukan karena seharusnya kejadian itu dilaporkan kepada polisi pada malam penemuan syifa 7 tahun lalu, namun hal itu baru di laporkan ketika sang anak telah meninggal dunia. Pihak kepolisian berjanji akan mencari kedua orang tua kandung Syifa walau dengan kesulitan.
Waktu berlalu tak terasa sudah 5 tahun berlalu dari saat Syifa berpulang ke rahmattullah dan sampai kini masih belum ada kabar tentang keberadaan kedua orang tua Syifa yang sebenarnya.
Syifa memang sejak dilahirkan tidak memiliki tangan karenanya Syifa selalu dibantu oleh pak Soleh dan ibu Sulastri orang tua angkatnya yang menemukannya melakukan kegiatan setiap hari, mulai dari minum susu makan mandi dan juga saat Syifa buang hajat semuanya kegiatan tersebut mendapatkan bantuan dari ibu Sulastri yang sangat sabar dan sangat sayang dalam mengurus Syifa. Sejak kecilpun Syifa telah diberikan bekal rohani oleh kedua orang tua angkatnya tersebut. Mereka banyak mengajarkan Syifa tentang sholat, mengaji, kesabaran, keikhlasan, kebesaran hati dan yang terpenting pak Soleh dan ibu Sulastri mengajarkan bahwa Allah SWT adalah teman sejati yang selalu ada di dekatnya baik ketika Syifa sedih atau pun bahagia, baik ketika sehat maupun sakit, suatu zat yang menciptakan segala sesuatu termasuk Syifa, mereka juga mengajarkan Syifa untuk menjadi orang yang dapat menerima keadaan dengan sabar dan tawakal kepada Allah SWT.
Syifa yang masih bayi pertama kali ditemukan oleh pak Soleh di pelataran peron stasiun Kebayoran Lama Jakarta Selatan tahun 2000 silam tepatnya tanggal 7 bulan Juli, jam 1:30 dini hari dibawah kursi tunggu kereta berwarna biru. Malam itu merupakan malam biasa layaknya malam-malam sebelumnya, namun ketika pak Soleh tengah berjalan mencari gelas dan botol plastik bekas minuman ringan yang tersebar di area stasiun ia menemukan sesosok bayi mungil dalam keadaan rapi terselimuti kain berwarna merah muda didalam sebuah keranjang belanjaan sebuah supermarket terkemuka di Jakarta. Awalnya pak Soleh mengira ia menemukan jenazah seorang bayi ketika menemukan Syifa yang tak bergerak. Namun ketika pak Soleh memperhatikan secara seksama bayi mungil tersebut sebelum ia meminta bantuan warga sekitar. Ia pun melihat pergerakan nafas didada bayi mungil itu, lalu diangkatlah bayi itu perlahan. Dengan penuh kehati-hatian dan dengan rasa sayang, pak Soleh mengelus-elus kepala bayi itu dan membuka selimut berwarna merah muda yang menutupi bayi mungil itu untuk melihat jenis kelaminnya. Ternyata bayi mungil itu adalah seorang perempuan, namun pak Soleh terenyuh melihat kondisi tubuh bayi tersebut yang tidak sempurna. Bayi perempuan mungil tersebut tidak memiliki tangan sama sekali, seketika itu juga pak Soleh berfikir orang tua bayi ini sengaja membuang bayinya karena kondisi sang bayi tidak sempurna itu.
Pak Solehpun menggeledah semua barang yang ada di keranjang tempat bayi mungil itu di tempatkan, untuk mencari tahu siapa orang tuanya dan siapa nama bayi yang sedang tertidur pulas di pelukannya itu. Namun nihil, tak ada satupun barang yang dapat membawa pak Soleh untuk mengetahui orang tua dan bayi mungil tersebut. Akhirnya pak Solehpun berinisiatif untuk membawa bayi mungil itu pulang ke rumahnya yang memang tak jauh dari stasiun kereta Kebayoran Lama. Pak Soleh bukanlah seorang yang berkecukupan, dia tinggal di gubuk yang terbuat dari kayu bekas dan seng-seng bekas di pinggir rel kereta api. Setiap hari pekerjaan pak Soleh adalah mengumpulkan gelas plastik dan botol plastik bekas minuman ringan yang tersebar di sekitar stasiun Kebayoran Lama yang tidak pernah sepi dari penumpang itu. Pak Solehpun sudah berulang kali terjaring penertiban gepeng yang sering dilakukan pemda DKI Jakarta, namun pak Soleh tidak pernah kapok akan hal itu. Sebab diusianya yang senja yaitu 68 tahun tak ada lagi perusahaan yang mau menerima dia untuk bekerja, walaupun pak Soleh dulunya adalah seorang montir yang cukup ahli pada masa mudanya. Hal itu tidak lagi berlaku kini. Pak Soleh mulai menekuni pekerjaannya mengumpulkan gelas dan botol plastik bekas minuman ringan pada tahun 1987, pria kelahiran Blitar, 15 November tahun 1939 ini telah menikah dengan Sulastri wanita kelahiran Blitar, 10 Agustus tahun 1945 dan telah dikaruniai seorang anak perempuan bernama Syifa Maghfiroh. Namun putrinya tersebut telah meninggal dunia pada saat ibu Sulastri melahirkannya 40 tahun silam. Sejak saat itu pak Soleh dan ibu Sulastri tak pernah dikaruniai seorang anakpun hingga pak Soleh menemukan bayi mungil di peron stasiun kereta api Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dini hari lalu.
Sesampainya di rumah dengan wajah senang dan suara gembira, pak Soleh memanggil istrinya untuk datang menjemputnya yang baru datang di depan pintu rumahnya itu.
” Bu,,Bu,,,, cepat keluar! Lihat siapa yang aku bawa,,,,,,”
Ibu Sulastripun berjalan perlahan keluar sambil mengikat rambutnya seraya menjawab
” Iya Pak sabar, memangnya apa yang kamu bawa?”
Sambil melebarkan senyuman, Pak Soleh menunjukan bayi mungil yang ia temukan di peron stasiun Kebayoran Lama itu sambil berkata
“ Ini Bu,,,lihat aku menemukan bayi!!”
Ibu Sulastri terkejut dan berkata dengan nada sedikit panik
” Astagfirullah, Pak,,, kamu menemukan dimana bayi ini? “
“Aku menemukannya di peron stasiun Bu. Dia ditinggalkan oleh orang tuanya,,,” Memberikan penjelasan singkat dengan tenang dan senang kepada istrinya.
“ Mana Pak, Ibu mau lihat”
Dengan nada penasaran ibu Sulastri berkata demikian sambil mengulurkan tangannya tanda meminta bayi yang tengah digendong oleh pak Soleh.
”Ini Bu hati-hati, dia sedang tidur”
Pak Soleh berkata demikian sambil memberikan bayi mungil itu kepada sang istri, lalu setelah sang bayi berpindah dari gendongan pak Soleh ke ibu Sulastri, pak Solehpun segera duduk perlahan di lantai rumah yang tak beralaskan apa-apa itu dan bercerita dengan tenang tentang bayi mungil tersebut.
” Iya Bu, aku menemukannya tertidur di peron kereta menuju Rangkas Bitung, Banten, tengah tertidur pulas didalam keranjang belanjaan ini. Saat aku periksa anak
ini tidak memiliki tangan. Jadi aku bisa mengambil kesimpulan bahwa anak ini sengaja dibuang orang tuanya karena alasan tersebut”
“Masya Allah, kasihan sekali nasibmu nak”
Ibu Sulastri berkata lirih sambil mengelus dan menciumi kening si bayi itu. Lalu tiba-tiba, pak Soleh bertanya kepada istrinya dengan nada sedikit ragu-ragu
”Bu, Bapak mau merawat dan menjadikan anak ini sebagai anak kita. Ibu mau atau tidak?”
Ibu Sulastripun menjawab tenang
”Mau diberi makan apa Pak?Kita saja sudah susah, aku takut anak ini ikut susah dan menderita bila ikut dengan kita”
Pak Soleh beranjak dari tempat dia duduk dan mendekati istrinya dan merangkul pundaknya sambil berbisik
“Bu,, anak ini adalah anugrah dari Allah SWT. Dia mempercayakan anak ini kepada kita, maka dia akan membantu kita untuk merawat dan membesarkan anak ini. Lagi pula apa Ibu tidak kasihan bila anak ini kita tinggalkan di tempat lain,belum tentu anak ini akan ada yang memungut bisa jadi ia akan meninggal karena tak ada yang peduli terhadapnya?”
Ibu Sulastripun terdiam sambil berfikir sejenak mendengar kata-kata suaminya tersebut. Setelah beberapa saat, ibu Sulastripun mengamini usulan suaminya tersebut.
Pada malam itu ibu Sulastri dan pak Soleh berunding tentang nama yang akan diberikan kepada bayi mungil tersebut, sambil memperhatikan bayi mungil itu.
“Bu kira-kira nama apa ya yang cocok untuk anak mungil ini?”
Bertanya pak Soleh kepada istrinya. Lalu istrinya menjawab dengan bingung
“Siapa ya Pak? Aku bingung bila mendadak harus memberikan nama kepada seorang anak. Nama itu harus memiliki arti yang bagus Pak, supaya dia bisa menjadi anak yang baik pula”
Lalu pak Solehpun menjawab sambil tersenyum kecil dan seraya menggaruk sebagian kepalanya yang telah botak dan beruban itu.
“Iya Bu, aku memang harus demikian. Ternyata susah juga memberi nama untuk seorang anak ya Bu?”
Lalu tiba-tiba ibu Sulastri menitikan air mata, pak Soleh kaget dan bertanya
“Bu, mengapa kamu tiba-tiba menangis?”
Dengan suara lirih, ibu Sulastri menjawab sambil mengusap air matanya
”Aku teringat anak kita, Syifa Pak. Anak ini begitu mirip dengan Syifa yang telah tiada”
Pak Solehpun tersenyum kecil dan berkata seraya mengangkat wajah istrinya
“Bu kita beri anak ini nama Syifa Maghfiroh saja ya?”
Ibu Sulastripun tertegun sejenak dan berkata sambil menguraikan air mata dan menganggukkan kepalanya.
“Iya Pak, kita beri nama anak ini Syifa saja”
Lalu pak Soleh mulai mengadzani kedua telinga bayi yang baru mereka beri nama Syifa itu. Setelah selesai mengadzani Syifa, Syifapun terbangun dan menangis kencang, membangunkan warga sekitar rumah pak Soleh. Sambil tertawa bahagia bercampur haru dan berurai air mata ibu Sulastri dan pak Soleh mencoba mendiamkan tangisan Syifa yang kencang itu. Lalu satu persatu tetangga pak Soleh berdatangan karena mendengar suara tangis bayi yang berasal dari dalam rumah pak Soleh. Beberapa wargapun mengucapkan salam tanda ingin bertamu ke rumah pak Soleh “Assalamualaikum pak Soleh!!!”
Pak Solehpun menjawab sambil membukakan pintu untuk para tetangganya tersebut “Waalaikumsallam”
Para tetangga pun langsung melontarkan pertanyaan seputar suara bayi yang mereka dengar dengan penasaran.
“Pak Soleh kita mendengar ada suara tangisan bayi dari rumah pak Soleh, memangnya pak Soleh punya seorang bayi?”
Dengan senang hati dan diiringi senyuman pak Solehpun menjawab
”Iya Bapak dan Ibu, saya sekarang punya seorang bayi namanya Syifa Maghfiroh”
Tetangga pak Soleh makin heran diusia setua pak Soleh dan ibu Sulastri pasti akan sangat sulit memperoleh keturunan dan lalu bertanya lagi dengan makin penasaran
“Ibu melahirkan Pak?”
Dengan tawa pak Soleh menjawab
”Tidak, tidak, tidak mungkin Ibu melahirkan kita kan sudah tua sudah susah punya anak Pak”
Bertanya lagi para tetangga yang masih penuh dengan rasa penasaran
“Lantas bayi yang tengah menangis itu bayi siapa Pak?”
Masih dengan tawa pak Soleh menjawab
“Ya bayi sayalah”
Para warga masih belum paham dan makin penasaran dengan apa yang pak Soleh bicarakan. Lalu pak Soleh meminta beberapa orang tetangganya yang bertamu tersebut untuk masuk dan melihat putri angkatnya tersebut lalu segera menjelaskan asal usul tentang bayi tersebut.
“Jadi begini Bapak dan Ibu saya menemukan bayi ini di peron stasiun, saya dan istri saya sepakat mengangkat dia menjadi anak kami. Kami telah memberikannya sebuah nama, namanya adalah Syifa Maghfiroh. Nama Syifa sebenarnya kami ambil dari nama almarhum anak kami dahulu. Kami sudah lama mendambakan seorang anak setelah berpulangnya Syifa dulu, namun baru malam ini Allah SWT memberikan kepercayaannya kepada kami untuk mengurus dan membesarkan seorang anak. Kami sangat bersyukur sekali”
Tak terasa obrolan pak Soleh dan beberapa tetangganya membawanya menemui waktu sholat shubuh. Tangisan Syifapun telah berhenti. Syifa kembali tertidur dipelukan ibu Sulastri yang hangat itu. Adzan shubuh pun berkumandang lantang dari musola kecil di perkampungan itu. Mendengar suara panggilan sholat tersebut para tetangga beranjak dari tempat duduknya malam itu sambil berkata
“Wah Pak Soleh, tak terasa sudah shubuh. Kami pamit dulu ya”
Pak Soleh menjawab sambil beranjak dari tempat duduknya
“Iya Bapak dan Ibu, terima kasih sudah mau mampir dan maaf saya tidak bisa menyuguhkan apa-apa untuk Bapak dan Ibu”
Sambil mengajukan tangan tanda mengajak berjabat tangan para tetangga pun menjawab sambil tertawa dan sedikit mengajak pak Soleh bercanda
“Tidak apa-apa Pak. Kami ke sini hanya ingin tahu saja tentang suara Syifa dan sekalian silaturahmi bukan untuk numpang minum atau makan”
Pak Solehpun tertawa senang dan menjawab
“Iya Pak, terima kasih banyak”
Lalu sambil melangkah keluar pintu para tetangga pak Solehpun mengucapkan salam
“Asalamualaikum Pak Soleh dan Ibu,,!!”
Salam itupun dibalas dengan senang hati oleh pak Soleh yang mengantar mereka dan ibu Sulastri yang masih berbaring dengan putri barunya Syifa.
“Waalaikumsallam”
“Mari Pak Soleh”
Para tetangga pamit pulang kepada pak Soleh.
“Mari-mari terima kasih ya Pak dan Bu”
Pak Solehpun menjawab sambil melontarkan senyum dan melambaikan tangan tuanya itu.
Setelah para tetangga pulang ke rumah masing-masing pak Solehpun segera menutup pintu rumahnya. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mensucikan diri karena ia ingin segera menunaikan sholat shubuh berjamaah bersama istrinya, ibu Sulastri.
Kira-kira 15 menit pak Soleh membersihkan tubuhnya yang penuh peluh setelah seharian mencari gelas dan botol plastik bekas minuman ringan di stasiun. Setelah selesai, ia kemudian segera mengenakan baju koko dan sarung satu-satunya yang ia miliki. Baju koko pak Soleh sudah tipis karena hampir setiap hari dicuci oleh istrinya warnanya pun tak lagi putih melainkan sudah kekuningan akibat sudah lama. Pak Soleh sebenarnya sangat ingin sekali memiliki baju koko yang baru namun apa daya karena desakan ekonomi yang semakin tinggi maka pak Soleh mengurungkan niatnya memiliki baju koko baru tersebut. Ia pun berfikir melakukan ibadah itu tergantung dari niat seseorang dan bersih atau halalnya pakaian yang digunakan bukan baru atau lamanya pakaian tersebut. Allah SWT tidak pernah membeda-bedakan umatnya atas dasar materi atau kecakapan dalam berpakaian. Semua dinilai dari seberapa ikhlasnya sang umat tersebut menyembahnya. Hanya itu saja yang pak Soleh percaya selama ini.
Setelah rapi mengenakan baju koko dan sarungnya, pak Soleh kemudian mengajak sang istri ibu Sulastri untuk sholat berjamaah. Pak Soleh mengajak istrinya dengan suara yang lembut dan penuh kasih sayang
“Bu, mari kita sholat shubuh berjamaah”
Sang istri pun, ibu Sulastri menatap dalam sang suami sambil beranjak dari tempat ia berbaring bersama Syifa yang masih terlelap tidur dengan lucunya seraya menjawab ajakan suaminya
“Iya Pak tunggu, Ibu wudhu dulu ya Pak”
Pak Solehpun kembali menjawab perkataan sang istri sambil membantunya bangun dari tempat tidurnya
“Iya Bu, Bapak tunggu. Bapak juga mau menyiapkan kardus untuk kita sholat shubuh”
“Iya Pak, terima kasih”
Sang istri menjawab lembut perkataan suaminya itu, lalu pak Soleh mulai menggelar beberapa kardus bekas televisi yang ia pungut di dekat stasiun 10 tahun yang lalu. Pak Soleh tak pernah mengganti kardus itu dan tak pernah memakainya jika bukan untuk sholat. Perlahan ia melebarkan kardus-kardus bekas itu sambil menunggu sang istri mengambil wudhu setelah selesai. Pak Solehpun duduk disamping Syifa sambil menatapnya dengan dalam kemudian berfikir
“Bagaimana nanti bila kau bertemu kembali dengan kedua orang tuamu suatu saat nanti nak? apakah kau akan melupakan kami?”
Lalu tiba-tiba suara sang istri yang memanggil lembut dirinya menyadarkan pak Soleh dari lamunannya
“Bapak,,,”
Pak Solehpun sedikit tersentak lalu menoleh ke belakang. Ia melihat sang istri telah rapi mengenakan mukena dan kain serta telah siap menunaikan sholat berjamaah dengan suaminya itu. Pak Solehpun beranjak dan meminta sang istri untuk berdiri dibelakangnya dengan suara lembut
“Mari Bu, berdiri dibelakang ku. Kita akan mulai sholat shubuh”
Sang istri pun menjawab dengan lembut
“Iya Pak, mari kita sholat”
Lalu sang ibu mengumandangkan qomat sebagai pertanda sholat shubuh berjamaah akan segera dilaksanakan, kemudian setelah itu mulailah mereka menunaikan sholat shubuh pagi itu dengan sangat khusuk. Waktu pun berjalan sekitar 10 menit sholat shubuh berjamaah pasangan itupun selesai. Sesudah salam, sang istri ibu Sulastri langsung mengambil tangan kanan suaminya dan menciumnya dengan lembut seraya mengucapkan
“Terima kasih ya Pak, karena sudah menjadi imamku”
Lalu pak Solehpun mengelus kepala istrinya dan membangunkannya lalu mengecup kening istrinya itu dengan lembut dan mengatakan
“Seharusnya aku yang berterima kasih kepadamu Bu, karena kamu telah menjadi makmum ku yang sangat baik selama ini. Aku sangat mencintaimu”
Dengan tersipu malu sang istri tersenyum kecil dan membalas perkataan suaminya itu
“Aku juga mencintaimu Pak, sangat mencintaimu”
Lalu tiba-tiba kemesraan mereka terpecah akibat tangisan Syifa yang ternyata sudah bangun. Merekapun segera beranjak dari tempat mereka menunaikan sholat shubuh berjamaah menuju ke peraduan Syifa kecil yang tengah menagis itu. Sang ibu berkata lembut kepada Syifa
“Kenapa nak,kamu sudah bangun?
Pak Solehpun ikut mengajak bicara Syifa kecil dengan suara lembut
“Anakku sudah bangun. Assalamualaikum Syifa, selamat pagi”
Lalu segera pak Soleh menggendong Syifa yang tengah menangis itu dan sedikit menggoyangkan badannya agar Syifa dapat tenang. Lalu pak Solehpun bertanya pelan kepada sang istri
“Bu, apa kita masih punya beras?”
Sang istri menjawab pelan
“Masih Pak, tinggal setengah liter lagi, memangnya kenapa?”
Pak Soleh kembali menjawab lembut
“Sepertinya Syifa ingin minum susu, tapi kita tidak punya susu dirumah. Bisakah aku meminta tolong kepadamu untuk mencuci beras yang tinggal setengah liter itu dan masaklah air cucian beras itu lalu berikan kepada Syifa anak kita?”
Sang istri pun menjawab
“Baik Pak, akan saya lakukan. Tolong tunggu sebentar ya Pak, sebentar ya Syifa anakku”
Kembali sang suami menjawab
“Iya Bu, aku minta tolong ya Bu”
Sambil bergegas mengambil beras mereka yang tinggal setengah liter itu, ibu Sulastri pun menjawab
“Iya Pak”
Sambil menggendong-gendong Syifa kecil, pak Solehpun berkata kepada Syifa yang tangisnya sudah sedikit mereda
“Syifa anakku, maafkan Bapak dan Ibu ya. Kami tidak punya susu untuk diberikan kepadamu. Kami hanya punya air tajin, itu yang terbaik yang dapat kami berikan kepadamu. Maafkan Bapak ya nak”
Lalu 30 menit waktu berlalu, air tajin pun sudah siap. Namun masalah kembali datang kepada pasangan suami istri ini, mereka tidak punya botol susu atau dot yang bisa digunakan Syifa untuk minum air tajin itu. Dengan sedih ibu Sulastri berkata kepada pak Soleh
“Pak, bagaimana ini air tajinnya sudah aku siapkan, namun kita tak punya botol atau dot yang bisa digunakan untuk Syifa, Pak”
Pak Solehpun menjawab dengan bingung
“Aduh bagaimana ya?Bapak bingung,,,bagaimana kalau air tajin itu diberikan menggunakan sendok saja?”
Lalu ibu Sulastri beranjak mengambil sebuah sendok plastik yang telah dicuci ke belakang sambil menjawab perkataan pak Soleh.
“Akan aku coba Pak”
Lalu pak Soleh pelan-pelan membaringkan Syifa ketempat tidur. Lalu tak lama kemudian ibu Sulastripun datang membawa sendok dan semangkuk air tajin hangat untuk Syifa, kemudian perlahan ibu Sulastri duduk dan menyendokan air tajin hangat yang ia bawa dan meniup-niupnya dengan perlahan lalu menyuapinya sedikit demi sedikit. Seolah mengerti dengan keadaan, Syifapun menenggak lahap air tajin yang diberikan oleh ibu Sulastri sampai habis. Betapa bahagianya bapak Soleh dan ibu Sulastri melihat anaknya meminum air tajin itu dengan sangat lahap. Ibu Sulastripun berkata kepada pak Soleh
“Pak, dia suka dengan air tajin buatanku”
Pak Solehpun menjawab sambil tersenyum bahagia
“Iya Bu dia suka, dia lahap sekali ya Bu?”
Ibu Sulastripun kembali menjawab dengan nada semakin bahagia
“Iya Pak, Ibu senang sekali”
Kembali pak Soleh menjawab
“Iya Bu, Bapak juga senang sekali”
Sejak ditemukan pertama kali oleh pak Soleh, Syifa tak pernah merasakan manisnya ASI ataupun susu kemasan setiap hari sejak ia ditemukan oleh pak Soleh dan diangkat menjadi anak olehnya. Syifa hanya minum air bekas cucian beras atau air tajin yang sebenarnya merupakan salah satu barang mewah untuk pak Soleh dan ibu Sulastri. Mereka pun tidak setiap hari dapat memberikan Syifa air tajin karena ibu Sulastri hanya dapat memasak nasi dua atau tiga hari sekali karena uang hasil penjualan gelas dan botol plastik bekas minuman ringan tidak seberapa banyak. Untuk mensiasatinya, ibu Sulastri hampir setiap hari meminta air tajin kepada para tetangga di kampungnya yang terbilang miskin juga. Syifa tak pernah minum dari dot atau botol susu baru, semua yang dimiliki oleh Syifa mulai dari pakaian sampai perlengkapan sehari-hari Syifa merupakan barang bekas yang telah dibuang oleh orang lain yang masih layak pakai menurut pak Soleh dan dipungut oleh pak Soleh dalam perjalanannya mencari botol dan gelas plastik bekas minuman ringan.
Hari-hari pun berlalu begitu cepat. Setiap hari Syifa selalu minum air tajin yang diberikan ibu Sulastri tanpa bosan sekali pun. Lalu Syifapun beranjak besar, kini Syifa berusia 2 tahun, Syifa mulai bisa mengkonsumsi makanan berat berupa nasi dan yang lainnya. Syifapun sudah fasih berbicara, walau ia masih kesulitan dalam pengucapan beberapa kata. Namun dalam usia semuda ini Syifa tergolong anak yang aktif dan sehat, tubuhnya tidak gemuk dan tidak kurus, proporsional untuk anak seusianya. Ia senang sekali bermain bersama teman-temannya. Permainan kesukaan Syifa adalah petak umpet. Syifa sangat lihai memainkan permainan tersebut, sehingga ia dijuluki oleh teman-temannya sebagai “ratu umpet” sebuah julukan karena kemahirannya bersembunyi, dan Syifa bangga dengan julukan tersebut. Selain petak umpet, Syifa juga suka sekali memainkan permainan taplak gunung. Sebuah permainan yang kini sudah jarang ditemui dan dimainkan oleh anak-anak kecil karena perkembangan teknologi yang pesat sehingga menggeser popularitas permainan tersebut. Kini permainan tersebut hanya bisa kita lihat dimainkan oleh anak-anak yang tinggal di pinggiran ibukota atau di kampung-kampung yang belum terjamah teknologi seperti kampung yang Syifa dan kedua orang tua angkatnya diami sekarang. Kampung ini seperti terisolir dari kemajuan teknologi yang pesat, walau kampung ini ada ditengah pusat keramaian kota namun karena kampung ini adalah kampung yang miskin jadi tak ada teknologi yang dapat masuk ke dalamnya. Itulah kampung yang Syifa tinggali kini.
Orang tua angkat Syifa, pak Soleh dan ibu Sulastri merupakan salah satu keluarga dari 20 keluarga yang tinggal dalam kampung tersebut. Semua rumah yang ada di kampung tersebut terbuat dari kayu-kayu, kusen, dan seng bekas, yang berdiri tidak permanent, sehingga bila cuaca sedang buruk atau ada kereta api yang melintas rumah-rumah tersebut bergetar dan yang lebih parah lagi dapat roboh suaktu-waktu karena terpaan angin dan hujan. Sebuah kondisi yang sangat tidak kondusif untuk membesarkan seorang anak. Namun mereka tidak punya pilihan lain, mereka bukan siapa-siapa, suara mereka pun tak pernah didengar oleh pemda dan orang-orang yang berkecukupan yang ada di wilayah tersebut, justru mereka sering sekali dituding sebagai penyebab berbagai kehilangan dan tindak kejahatan yang terjadi baik di jalan maupun di tempat kediaman orang-orang yang berkecukupan itu.
Sungguh miris bila dilihat, cobaan yang begitu dahsyat menerpa mereka bertubi-tubi. Seolah tak ada kesempatan mereka membela diri dihadapan manusia yang lainnya, namun mereka semua dapat bertahan dan kuat akan semua itu, karena mereka masing-masing percaya bahwa Allah tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hambanya. Allah memberikan cobaan kepada mereka dengan cara memberikan mereka kemiskinan, caci maki, dan fitnah itu dikarenakan Allah tahu bahwa mereka mampu menerima cobaan yang IA itu dengan lapang dada dan ikhlas seperti yang di alami oleh pak Soleh dahulu. Pak Soleh dituduh telah mencuri handphone seorang calon penumpang kereta di stasiun Kebayoran Lama pada tanggal 17 April 2000 tepatnya jam 3 sore, banyak orang mengerubunginya karena salah satu calon penumpang kereta api berteriak sambil mencaci maki pak Soleh sambil menuduh bahwa dia adalah pencuri handphone orang tersebut
“Heh kamu maling, kembalikan handphone saya”
Pak Solehpun menoleh ke belakang dan terlihat bingung. Lalu calon penumpang itu kembali berbicara dengan nada membentak kepada pak Soleh
“Heh malah tengak-tengok, jangan pura-pura ya kamu, dasar maling kurang ajar”
Mendengar ucapan calon penumpang itu pak Solehpun terkejut dan bertanya dengan nada takut sambil menatap wajah calon penumpang itu
“Ma,,maksud Mba, saya?
Dengan galaknya calon penumpang itu menjawab pertanyaan pak Soleh
“Ya iyalah kamu yang saya maksud, siapa lagi, kan kamu yang dari tadi menguntit-nguntit dibelakang saya”
Pak Soleh kembali berkata tak mengerti dengan suara bergetar karena takut
“Sa,,saya tidak mengerti apa yang Mba bicarakan”
Masih dengan nada galak dan penuh emosi calon penumpang itu menjawab
“Halah pakai pura-pura tidak mengerti segala lagi. Kamukan yang mencuri handphone saya. Kamu memang sampah masyarakat ya, sudah miskin jadi pencuri lagi, kamu tidak malu sama umur kamu. Ingat Pak, kamu itu sudah bau tanah sebentar lagi mati insyaf dong. Kembalikan sekarang, kembalikan handphone saya yang kamu ambil cepat!!!!!”
Lalu orang-orang di sekitar stasiun pun mulai berdatangan dan menghampiri si calon penumpang yang tengah memarahi pak Soleh. Beberapa orang pun melontarkan pertanyaan kepada calon penumpang itu
“Ada apa Mba, ribut-ribut begini?”
Sang calon penumpang menjawab dengan kesal
“Ini Pak, ada maling handphone”
Lalu kembali orang-orang tersebut bertanya
“Oh, laki-laki tua ini yang mencuri handphone Mba?
Masih dengan nada yang tinggi calon penumpang itu menjawab
“Iya Pak, saya sudah minta tapi dia malah pura-pura tidak tahu apa-apa padahal yang ada di sekitar saya dari tadi cuma dia, jadi kemungkinan terbesarnya ya dia yang mencuri handphone saya”
Lalu orang-orang tersebut pun menjawab
“Benar tuh jangan-jangan memang dia pelakunya. Jangan-jangan juga dia adalah sindikat pencopet handphone di stasiun ini karena sudah banyak handphone orang yang mau naik kereta yang hilang!!”
Pak Soleh makin terpojok dan makin ketakutan karena sebagian orang yang mengerubunginya berteriak dan mengajak yang lain untuk menghakimi dia di sana jika dia tidak mau mengakui perbuatannya. Namun pak Solehpun tak bisa mengakui perbuatan yang tidak dilakukannya. Pak Soleh hanya dapat berdoa memohon bantuan dari Allah SWT. Ia berdoa lirih
“Ya Allah selamatkanlah aku dari fitnah ini ya Allah. Bukakan mata dan hati mereka agar tidak menghakimi aku yang tidak bersalah ini ya Allah”
Lalu tiba-tiba tiga orang anggota keamanan stasiun kereta api Kebayoran Lama menghampiri kerumunan tersebut dan membawa pak Soleh beserta korban untuk dimintai keterangan di pos satpam stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan itu. Dalam keadaan genting seperti itu Allah telah menunjukan kekuasaan-Nya kepada pak Soleh. Ia menyelamatkan pak Soleh dari main hakim sendiri orang-orang tadi. Lalu sesampainya di pos satpam, pak Soleh dan korban diminta untuk duduk di kursi yang berada didalam pos satpam stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Lalu sang komandan regu pada piket sore itu pun mulai menginterogasi pak Soleh dan korban. Danru itu pun melontarkan pertanyaan pertama kepada korban dengan tegas
“Ibu ada masalah apa tadi sehingga terjadi kerumunan masa di sana?”
Korbanpun menjawab kesal
“Handphone saya hilang Pak!”
Kembali bertanya danru tersebut dengan nada tegas
“Hilang, bagaimana Bu?dicopet dijambret atau jatuh?”
Korban menjawab dengan menaikan nada suaranya
“Dicuri Pak, hp saya dicuri dari tas saya oleh pria tua bau busuk ini!”
Lalu danru tersebut mengalihkan pertanyaan kepada pak Soleh
“Apa benar Bapak mencuri hp Ibu ini?
Dengan nada pelan sedikit panik dan takut pak Soleh menjawab
“Tidak Pak, saya tidak mencuri hp Mba ini”
Korban lalu memotong jawaban pak Soleh dengan nada kesal
“Halah mana ada maling mau mengaku, kalau maling mengaku penjara penuh, dasar orang miskin tidak tahu diri!!!”
Danrupun berkata dengan lebih tegas kepada korban
“Ibu saya sedang bertanya di sini jadi saya mohon kerja sama Ibu untuk tidak memotong jawaban dari Bapak ini agar jelas duduk persoalan yang Ibu ributkan dari tadi”
Dengan kesal sang korbanpun menjawab
“Iya iya, whatever lah!!”
Lalu danru itupun kembali bertanya kepada pak Soleh
“Siapa nama Bapak dan apa pekerjaan Bapak sehari-hari?”
Pak Solehpun menjawab dengan tenang
“Nama saya Soleh, dan pekerjaan saya sehari-hari adalah mengumpulkan gelas dan botol plastik bekas minuman ringan untuk di kilo”
Kembali danru bertanya kepada pak Soleh
“Tempat tinggal Bapak sekarang?”
“Saya tinggal dibelakang stasiun ini Pak”
Jawab pak Soleh.
“Lalu Pak Soleh punya istri dan anak?”
Tanya danru kembali.
“Iya Pak, saya memiliki seorang istri dan seorang anak perempuan berusia 1 tahun”
Kembali pak Soleh menjawab.
“Lalu sudah berapa kali Bapak mencuri?”
Tanya danru memojokan.
“Saya tidak pernah sekalipun mencuri Pak, demi Allah”
Pak Soleh menjawab dengan menaikan sedikit nada suarannya.
“Tidak perlu membawa-bawa nama Allah di sini Pak. Saya tidak meminta Bapak untuk bersumpah, saya hanya bertanya berapa kali sudah Bapak melakukan tindak pencurian?”
Kembali danru bertanya memojokan pak Soleh.
Namun sekali lagi pak Soleh menjawab dengan nada lemah kepada danru satuan pengamanan stasiun Kebayoran Lama tersebut.
“Pak, saya seumur hidup tidak pernah sekalipun mencuri. Jika Bapak tidak percaya silakan periksa karung yang saya bawa itu Pak”
Lalu kembali korban memotong jawaban pak Soleh
“Dia kan sudah berkomplot dengan beberapa orang, jadi sudah pindah tanganlah handphone saya, tidak mungkin disimpan didalam karung, maling sekarangkan pintar-pintar!!”
Kembali danru mengingatkan kepada korban untuk tidak menyela pembicaraan pak Soleh
“Ibu saya ingatkan sekali lagi, tolong jangan menyela pembicaraan pak Soleh. Saya mohon kerjasamanya!”
Korban kembali menjawab
“Oke,,oke!!”
Lalu danru kembali bertanya kepada pak Soleh dengan nada datar dan dingin
“Jadi Bapak bekerja sama dengan berapa orang dalam melakukan tindak pencurian selama ini?”
Lalu kembali pak Soleh menjawab kesal dengan mata yang berkaca-kaca
“Astagfirullah Bapak, saya sudah bilang berulang kali kepada Bapak, saya tidak pernah mencuri dan saya tidak berkomplot dengan siapa saja Pak. Biar saya orang miskin tapi saya masih takut akan dosa Pak”
Dan perdebatan itupun berlangsung selama kurang lebih 3 jam. Interogasi demi interogasi dilontarkan kepada pak Soleh oleh danru satuan keamanan stasiun kereta api Kebayoran Lama. Ia dipojokan baik oleh korban dan juga pihak keamanan stasiun kereta Kebayoran Lama itu. Namun pak Soleh tetap bersikukuh bahwa ia tidak pernah melakukan tindak pencurian apapun dimanapun baik dari orang lain atau pun dari sang korban itu sendiri. Ia menjelaskan bahwa ia kebetulan lewat dibelakang korban yang kehilangan handphonenya karena didekat korban ada beberapa gelas dan botol plastik bekas yang hendak pak Soleh pungut untuk dapat ia jual kembali agar bisa menafkahi keluarga dan anak angkatnya.
Lalu setelah beberapa jam pak Soleh diinterogasi dan dicecar pertanyaan yang memojokan dirinya, tiba-tiba ada seorang anggota keamanan yang saat itu berjaga menangkap segerombol copet yang berjumlah 4 orang. Copet-copet itupun digelandang ke dalam pos satpam yang tengah penuh oleh orang-orang yang ingin melihat pak Soleh yang diduga bersalah tersebut. Lalu ketika para kawanan copet tersebut digeledah petugas keamanan stasiun kereta Kebayoran Lama, menemukan 5 unit handphone dengan total nilai 7 juta rupiah dan 3 buah dompet yang berisi uang dengan total Rp2.331.500, dan ternyata salah satu dari kelima handphone yang ditemukan oleh petugas keamanan stasiun kereta api Kebayoran Lama adalah milik korban yang telah menuduh pak Soleh sebagai pencuri itu. Dengan perasaan tidak enak, korbanpun meminta maaf kepada pak Soleh
“Pak, maafkan saya ya telah menuduh Bapak sebagai pencuri saya jadi tak enak hati kepada Bapak”
“Tidak apa-apa Mba saya mengerti, saya tidak pernah marah kepada Mba dan sebelum Mba meminta maaf, saya terlebih dahulu telah memaafkan Mba. Kesalahan itu manusiawi Mba, karena kita tidak pernah sempurna hanya Allah yang maha sempurna dan mengetahui segalanya akan diri kita”
Jawab pak Soleh dengan nada pelan kepada korban
“Iya Pak, terima kasih telah memaafkan saya ya Pak”
Jawab korban kembali kepada pak Soleh.
“Iya Mba sama-sama, maafkan Bapak juga ya”
Jawab pak Soleh pelan.
“Iya Pak”
Korban menjawabnya dengan rasa sedikit malu dan tak enak, kemudian korbanpun segera melampiaskan kemarahannya kepada para kawanan copet yang tertangkap itu dengan melontarkan kata-kata pedas dan sempat ingin memukulnya
“Dasar manusia rendah. Apa kalian tidak tahu akibat dari perbuatan kalian ini hampir ada seseorang yang menjadi kambing hitam”
Namun niat korban tersebut dihalangi oleh pak Soleh. Pak Soleh berkata kepada korban
“Mba, cukuplah Mba memarahi mereka jangan dipukul, kasihan mereka, mereka manusia juga. Mereka pun berhak untuk pulang dalam keadaan sehat walafiat, jadi saya mohon Mba untuk sabar dan menyerahkan semuanya kepada pihak yang berwajib. Lagi pula mereka pasti punya alasan kuat yang membuat mereka melakukan hal tidak terpuji tersebut”. Mendengar hal itu sang korbanpun mengurungkan niatnya untuk menghakimi sendiri kawanan copet itu dan menjawab tegas kepada pak Soleh
“Saya gemas Pak sama mereka ini. Merekakan masih muda, tidak sakit, badannya juga tidak kurang satu apapun tapi mereka melakukan tindakan kriminal semacam ini. Apa mereka ini tidak malu terhadap Bapak yang memiliki usia jauh diatas mereka tapi masih mau mencari rejeki yang halal untuk menafkahi istri dan anak Bapak dirumah, saya sebal Pak!!”
“Iya Mba, sabar jangan terbawa emosi. Marah itu kebiasaan manusia namun jangan sampai emosi dan amarah itu menutup mata hati Mba dan membuat Mba khilaf, karena jika hal itu terjadi tidak akan ada bedanya Mba dan mereka”
Pak Soleh menjawab seraya memberikan sedikit wejangan kepada sang korban.
“Iya Pak, betul yang Bapak bilang. Saya tidak mau seperti mereka, astagfirullah maafkanlah aku ya Allah, dan terima kasih telah kau beri petunjuk melalui perkataan Bapak ini”
Korban menjawab perkataan pak Soleh sambil mengucap istigfar dan bersyukur kepada Allah atas hidayah yang diberikan-Nya kepada dirinya. Lalu setelah kejadian itu, pak Solehpun kembali melanjutkan pekerjaannya mencari gelas dan botol plastik bekas minuman ringan di sekitar stasiun Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Berbagai macam sudah pengalaman buruk yang pak Soleh alami selama ia tinggal di kampung itu dan bekerja sebagai pengumpul gelas dan botol plastik bekas. Namun semua itu ia lakukan demi istrinya Sulastri dan anak angkatnya Syifa yang menunggu kepulangannya di rumah. Pak Soleh merupakan sosok pria tegar yang menjunjung tinggi islam sebagai agamanya. Ia selalu menjalankan semua perintah dan menjauhi semua larangan yang dikatakan Allah lewat Al-qur’an.
Di rumahnya pak Soleh tidak memiliki sesuatu yang berharga. Baginya yang berharga adalah istri dan anaknya, lalu seperangkat alat sholat dan juga sebuah Al-qur’an, itulah harta pak Soleh yang tak ternilai harganya. Pak Solehpun sejak dini sudah mulai mengajari Syifa bagaimana caranya berpuasa, sholat, dan mengaji. Ia sering bercerita tentang Rassulullah dan para sahabatnya. Ia pun sering berkata pada Syifa bahwa islam adalah agama penyelamat seluruh umatnya. Syifa diajari percaya kepada kebesaran Allah dan segala sesuatu yang membangun sisi emosi Syifa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.
Pak Soleh dan ibu Sulastri hampir setiap hari mengajari hal itu kepada Syifa. Syifapun diajari untuk berpuasa makan nasi oleh ibu Sulastri dan ibu Sulastri selalu gamblang memberitahu kondisi rumah dan ekonomi keluarganya sebagai penyebab puasa makan nasi itu mereka jalani.
Ibu Sulastri dan pak Soleh sejak awal telah jujur kepada Syifa anak angkatnya tentang siapa mereka walau tak semuanya. Mereka selalu berkata pada Syifa bahwa mereka adalah orang tua angkat Syifa. Memang terkadang Syifa sering bertanya kepada ibu Sulastri seputar umi dan abinya yang asli. Ibu Sulastripun menjawabnya dengan sedikit berbohong karena ia tidak mau anak yang ia sayangi hatinya terluka. Ia pun menjelaskan bahwa Syifa dititipkan kepada mereka karena umi dan abinya Syifa tidak mampu menafkahi Syifa. Mereka tengah melakukan perjalanan untuk mengumpulkan uang demi Syifa dan ketika mereka telah mempunyai cukup uang mereka akan kembali untuk menjemput Syifa. Ketika mendengar jawaban itu, Syifapun terdiam sejenak lalu kembali ceria seolah tak terjadi apa-apa. Syifapun sering sekali bertanya kepada pak Soleh dan ibu Sulastri tentang tubuhnya yang tidak sempurna itu. Ia bertanya dengan polosnya kepada pak Soleh dan ibu Sulastri
“Pak Ibu, tangan Syifa kemana ya?Syifa tidak pernah pakai tangan seperti teman-teman yang lain?”
Pak Soleh dan ibu Sulastripun bingung ingin menjawab apa. Mereka hanya bisa memeluk Syifa sambil menguraikan air mata. Syifapun kembali bingung dan bertanya dengan nada yang sangat polos
“Bapak Ibu, kenapa menangis? Syifa salah tanya ya sehingga membuat Bapak dan Ibu sedih? maafkan Syifa ya, Syifa janji Syifa tidak akan bertanya hal itu lagi”
Tangis pak Soleh dan ibu Sulastri semakin deras saja, sehingga membuat Syifa ikut menangis sambil meminta maaf kepada kedua orang tua angkatnya itu
“Ibu Bapak, Syifa mohon ampun jangan menangis lagi. Syifa berjanji tidak akan bertanya hal itu lagi”
Haripun berganti. Pagi, siang dan malam terlewati tanpa terasa keluarga kecil pak Soleh tiba di pintu gerbang bulan ramadhan ditengah kesibukan orang-orang lain menyiapkan kebutuhan untuk sahur pertama. Pak Soleh pada hari itu masih melakukan rutinitasnya yang biasa yaitu mengumpulkan gelas dan botol plastik bekas minuman ringan. Namun dengan jam yang lebih padat karena pak Soleh sudah hafal betul botol dan gelas plastik bekas minuman semakin banyak bertebaran ketika bulan ramadhan. Tiba pada bulan ramadhan, pak Soleh memulai pencariannya terhadap gelas dan botol bekas minuman ringan setelah sholat shubuh dan baru kembali ke rumah sehabis sholat magrib dan sesuai perkiraan pak Soleh, hasil kumpulan gelas dan botol plastik bekas didalam bulan ramadhan bisa dua kali lipat ketimbang hari biasa hal itu menyebabkan penghasilan perharinya bertambah sehingga ia dan sekeluarga dapat melaksanakan sahur dan buka puasa bersama hampir setiap hari walau dengan hidangan yang seadanya yaitu segenggam nasi dan kecap manis saset. Hanya itu yang mampu dibeli oleh keluarga pak Soleh dengan pendapatan perhari kurang dari Rp 1.200, bagi pak Soleh dan keluarga makan nasi yang dicampur kecap manis itu merupakan makanan yang sangat mewah dan mereka pun tak berhenti mengucap syukur akan hal itu. Hampir setiap hari mereka makan makanan yang sama tak pernah berubah, sesekalipun pak Soleh dan ibu Sulastri hanya sahur dengan segelas air putih hangat dan meminta Syifa memakan makanan sisa kemarin yang belum habis untuk sahur karena tengah kehabisan stok makanan. Hal itu berlangsung terus setiap tahun sampai akhirnya Syifa menghembuskan nafas terakhirnya pada malam yang tidak dapat dilupakan oleh pak Soleh dan ibu Sulastri hingga saat ini.
Syifa pada malam kematiannya memang bersikap tidak seperti biasanya. Kebiasaannya menulis surat malam itu berubah. Biasanya ia menulis surat untuk ibunya setelah melaksanakan sholat tahajud, namun malam itu terbalik, Syifa menulis dahulu surat terakhirnya untuk kedua orang tua angkatnya dan juga untuk kedua orang tua kandungnya lalu mengerjakan sholat tahajudnya yang terakhir. Malam itu setelah selesai menunaikan sholat tahajudnya yang terakhir, Syifa sempat memanjatkan doa pada sujudnya kepada Allah SWT sambil memejamkan kedua matanya yang terus mengeluarkan airmata itu
“Ya Allah aku telah sangat lelah sekali, aku ingin sekali bertemu umi dan abiku. Aku mohon kepadamu ya Allah. Aku tahu aku tak sempurna namun aku adalah hambamu ya Allah, kabulkanlah doaku ini ya Allah. Aku sangat merindukan mereka, aku ingin merasakan peluk hangat mereka ya Allah”`
Ditengah doanya tiba-tiba ada sepasang tangan hangat yang melingkari tubuh kecil Syifa yang tengah bersujud itu. Syifapun membuka kedua matanya yang basah akibat air matanya lalu menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia melihat dua orang disampingnya tengah memeluknya. Dengan polos Syifapun bertanya kepada kedua orang asing tersebut yang tiba-tiba datang dan memeluknya itu
“Assalamualaikum, bolehkah Syifa tahu siapa Bapak dan Ibu?”
Lalu kedua orang tersebut menjawab pelan sambil menatap Syifa yang wajahnya masih basah karena terkena air mata ketika ia berdoa tadi.
“Waalaikumsallam, kami adalah Umi dan Abi mu Syifa anakku”
Syifapun tertegun. Ia memandangi wajah umi dan abinya yang bercahaya itu, lalu kedua orang yang mengaku kedua orang dari Syifa kecil itu bertanya kepada Syifa
“Ada apa Syifa? apa kamu tidak senang bertemu dengan Umi dan Abi?”
Syifapun menjawab sambil berlinang air mata dan segera menjatuhkan tubuh kecilnya itu ke dada sang abi
“Senang Abi dan Umi,Syifa sangat senang sekali. Ya Allah terima kasih telah engkau kabulkan doaku malam ini ya Allah. Syifa senang sekali, kerinduan Syifa telah terobati”
Lalu kedua orang itupun memeluk Syifa dengan erat dan berbisik kecil di telinga Syifa
“Syifa, maafkan Umi dan Abi mu ya karena telah menitipkanmu kepada pak Soleh dan ibu Sulastri”
Syifapun menjawab sambil menciumi pipi umi dan abinya
“Ia Umi dan Abi, tak apa. Syifa tak pernah marah karena Umi dan Abi begitu. Syifa tahu, Umi dan Abi punya alasan melakukan itu kan. Tapi Syifa tak akan bertanya akan hal itu karena bagi Syifa yang terpenting Umi dan Abi telah kembali dan menemui Syifa sekarang”
Dengan senyum manis dan hangat kedua orang itupun berkata pada Syifa
“Iya Syifa terima kasih karena telah mau mengerti akan kami. Syifa, Umi mau tanya, apakah Syifa mau sepasang tangan untuk memeluk Umi dan Abi?”
Dengan senang hati Syifa menjawab
“Mau Umi. Syifa sangat ingin pakai sepasang tangan”
Lalu kedua orang itu kembali menjawab sambil menggenggam pundak Syifa
“Baiklah Syifa, pejamkan kedua matamu”
Lalu keajaiban itupun terjadi. Kedua tangan Syifapun muncul, lalu setelah itu kedua orang itu meminta Syifa membuka kembali kedua matanya
“Baiklah Syifa, buka kembali kedua matamu”
Lalu Syifa membuka kedua matanya pelan-pelan dan kemudian melihat kedua tangannya ada sempurna. Syifapun segera memeluk umi dan abinya sambil menangis haru dan bahagia dan berkata
“Terima kasih Umi dan Abi, Syifa senang sekali”
Lalu kedua orang itupun berdiri dan mengajak Syifa bangun dari tempat sholatnya, lalu mengulurkan tangan kepada Syifa sambil mengajaknya pergi
“Mari Syifa, kita pulang ke rumah”
Lalu Syifapun menjawab
“Aku ingin sekali Umi dan Abi, tapi bagaimana dengan bapak dan ibu?”
Merekapun menjawab dengan senyum lembut nan manis
“Mari kita temui mereka dulu untuk pamit, namun jangan kau bangunkan mereka ya Syifa kasihan mereka tengah lelah karena telah bekerja seharian. Umi dan Abi yakin bapak Soleh dan ibu Sulastri pasti mengerti dan mengizinkan kita untuk pulang”
Lalu Syifapun beranjak dari tempat ia sholat sambil menggenggam kedua tangan orang tuanya, lalu menuntun orang tuanya tersebut menuju kamar pak Soleh dan ibu Sulastri. Kemudian, Syifa memeluk tubuh dan menciumi pipi dan kening pak Soleh dan ibu Sulastri untuk yang terakhir kalinya. Lalu berbisik ditelinga mereka
“Terima kasih banyak Bapak dan Ibu untuk segala kasih sayang yang telah kalian berikan kepadaku. Aku mencintai kalian dan aku tak akan melupakan kalian. Jangan lupa sholat ya Pak Bu, Syifa mau pulang dulu bersama umi dan abi. Assalamualaikum”
Lalu Syifapun kembali kepada orang tuanya dan berkata
“Umi dan Abi, Syifa sekarang siap untuk pulang”
Lalu kedua orang tuanya menjawab lembut dengan disertai senyum lembut seraya menggenggam hangat kedua tangan Syifa
“Mari nak, kita pulang”
Kedua orang tua Syifa mengajak Syifa melewati pintu yang dipenuhi oleh cahaya putih nan terang mereka tersenyum dan sebelum melewati pintu itu, Syifa berhenti sejenak dan menoleh melihat pak Soleh dan ibu Sulastri untuk terakhir kalinya dan berkata
“Terima kasih Pak Bu, terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan dan kasih sayang yang telah Bapak dan Ibu berikan untuk Syifa. Assalamualaikum”
Syifapun berjalan melewati pintu itu dan pulang.
Sejak kepulangan Syifa ke rahmattullah, pak Soleh dan ibu Sulastri benar-benar merasa kehilangan. Namun hal itu selalu terobati karena mereka sering bertemu dengan Syifa didalam mimpi-mimpi mereka.
Syifa memang telah tiada, namun dirinya masih selalu hidup didalam hati pak Soleh dan ibu Sulastri selamanya. Ia tetap hidup dan ceria disana. Kenangan akan Syifa takkan pernah terlupa sampai waktu menjemput kehidupan pak Soleh dan ibu Sulastri.
Setelah penantian yang begitu panjang dan tanpa hasil, ibu Sulasti dan pak Solehpun mulai menghampiri batas usianya. Tepat pada hari Jumat tanggal 7 Juli 2012, pak Soleh dan ibu Sulastripun menghembuskan nafas terakhirnya seusai menunaikan solat shubuh berjamaah. Keduanya meninggal bersamaan dalam posisi duduk seusai melaksanakan sholat shubuh. Jenazah mereka ditemukan oleh pak Umar ,tetangga sebelah rumahnya setelah isya tepatnya jam 8 malam. Pak Umar merasa curiga mengapa sejak pagi tak ada suara pak Soleh dan ibu Sulastri terdengar dari dalam rumah mereka. Biasanya pak Solehpun pagi-pagi sekali sudah berangkat mencari botol dan gelas plastik bekas minuman ringan ke stasiun Kebayoran Lama. Namun pada hari itu, baik pak Soleh maupun ibu Sulastri tak terlilhat keluar rumah. Akhirnya, pak Umar berinisiatif berkunjung ke rumah pak Soleh dan ibu Sulastri untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Lalu, berangkatlah pak Umar menuju rumah pak Soleh dan ibu Sulastri sehabis melaksanakan sholat isya di rumahnya. Dengan masih mengenakan baju koko sarung dan peci hitam, ia berjalan menuju rumah pak Soleh dan ibu Sulastri. Sesampainya di depan rumah pak Soleh dan ibu Sulastri, pak Umarpun mulai mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, namun tak ada jawaban dari dalam rumah tersebut. Pak Umar kembali mencoba untuk kesekian kalinya, namun masih tak ada jawaban dari dalam rumah. Setelah tiga kali diketuk dan tak ada jawaban dari dalam rumah, pak Umar berfikir mungkin pak Soleh dan ibu Sulastri tengah melaksanakan sholat isya sehingga tidak menjawab salam darinya. Lalu ia mencoba untuk menunggu di depan rumah pak Soleh. Tiga puluh menit sudah berlalu, namun tak ada satu orangpun yang keluar. Lalu, pak Umar mencoba mengetuk kembali pintu rumah pak Soleh sambil memberi salam, namun tak ada jawaban lagi dari dalam rumah itu. Pak Umarpun mulai khawatir ia mencoba sekali lagi mengetuk pintu dan mengucapkan salam dan sekali lagi tak ada jawaban dari dalam rumah itu. Pak Umarpun dengan berat hati membuka pintu rumah pak Soleh yang memang tidak pernah dikunci tersebut dan perlahan masuk ke dalam sambil mengucapkan salam. Namun keadaan rumah sangat sepi tak ada satupun suara, kemudian pak Umarpun masuk kedalam rumah pak Soleh dan menemukan pak Soleh dan ibu Sulastri tengah duduk selesai sholat dimana keduanya masih memakai perlengkapan sholat dengan lengkap. Lalu ditunggulah oleh pak Umar beberapa saat, namun pak Umar tidak melihat ada gerakan dari pak Soleh maupun ibu Sulastri. Melihat hal itu, pak Umar mulai bertanya-tanya dan perlahan mendekati tubuh pak Soleh yang tengah terduduk didepan istrinya. Ketika pak Umar menepuk pelan pundak pak Soleh seraya mengucapkan salam, tubuh pak Soleh yang telah kaku tersebut terjatuh ke samping. Pak Umarpun terkejut melihat hal itu, ia mencoba membangunkan pak Soleh, namun sayang tak ada lagi nafas yang mengalir ditubuh pak Soleh. Ia pun mengecek keadaan istri pak Soleh, ibu Sulastri ternyata ibu Sulastripun mengalami hal yang sama dengan pak Soleh. Mengetahui hal itu, pak Umar segera mengucapkan “Inalillahi wainaillaihi rojiun”.
Malam itu juga, pak Umar meminta bantuan para tetangga sekitar untuk menyiapkan acara pemakaman untuk almarhum pak Soleh dan ibu Sulastri. Warga pun segera berkumpul dan menyiapkan segala sesuatunya untuk prosesi pemakaman pak Soleh dan ibu Sulastri malam itu.
Warga yang ada di kampung itu merasa sangat kehilangan atas kepergian pak Soleh dan juga ibu Sulastri.
“Mereka adalah warga yang baik”
Pak Aji selaku ketua RT setempat berkata demikian
“Mereka sangat tekun beribadah”
Pak Umar juga berkata demikian.
Banyak tetangga almarhum pak Soleh dan ibu Sulastri yang mengagumi kegigihan mereka dalam menjalani hidup dan menjalani hubungan cinta sampai mereka berpulang.
“Mungkin ini yang dibilang cinta sehidup semati”
Ada seorang tetangga yang berkomentar demikian.
Secara garis besar, pak Soleh dan ibu Sulastri dikenal sebagai warga sekaligus tetangga yang baik dan juga rajin beribadah, sabar, tekun dalam bekerja, dan selalu bersyukur akan segala yang mereka alami dan dapatkan selama hidup mereka. Mereka menjadi contoh yang baik dan menjadi buah bibir manis sepanjang masa di kampung tersebut. Pemakaman almarhum pak Soleh dan ibu Sulastri dilakukan pada Sabtu pagi jam 8 tanggal 8 Juli tahun 2012. Pemakaman mereka dihadiri oleh seluruh tetangga, dan berlangsung dengan hikmat. Setiap warga mendoakan pak Soleh dan ibu Sulastri agar dapat diterima disisi Allah SWT dan dapat bertemu dengan almarhumah anak angkatnya, Syifa Maghfiroh di alam sana.
Sebelum pak Soleh dan ibu Sulastri berpulang ke rahmattullah, pak Soleh dan ibu Sulastri menunaikan sholat shubuh berjamaah. Shubuh itu yang jatuh pada hari Jumat tanggal 7 Juli 2012. Sebelum melaksanakan sholat shubuh berjamaah bersama sang istri, pak soleh dan ibu Sulastri kedatangan tamu yang ternyata adalah Syifa, putri angkatnya yang telah tiada. Ditemani kedua orang yang mengaku sebagai kedua orang tua kandung dari Syifa. Saat itu pak Soleh tak berfikir bahwa yang dilihatnya adalah 3 malaikat yang datang untuk menjemput pak Soleh dan ibu Sulastri pulang ke rahmattulah. Saat itu, pak Soleh yang sangat senang memanggil istrinya ibu Sulastri untuk melihat siapa yang datang dan bertamu pagi itu. Ibu Sulastripun sangat senang melihat Syifa. Ibu Sulastripun langsung memeluk Syifa dan mencium kedua pipinya, lalu pak Soleh mengajak putri angkatnya dan kedua orang tua Syifa untuk melaksanakan sholat shubuh berjamaah,. Lalu merekapun menunaikan sholat shubuh berjamaah pagi itu. Setelah selesai, Syifa langsung mengajak pak Soleh dan ibu Sulastri untuk pergi. Tanpa berfikir panjang, pak Soleh dan ibu Sulastripun mengamini ajakan Syifa anak angkatnya tersebut. Merekapun bergegas pergi menuju sebuah taman luas yang dihiasi dengan warna warni bunga dan juga buah-buahan. Ditengah taman tersebut, terlihat sebuah masjid yang sangat indah dan megah. Masjid itu berwarna putih bercahaya. Syifapun bertanya kepada pak Soleh dan ibu Sulastri
“Ibu Bapak, Ibu dan Bapak lihat masjid ditengah taman ini?”
Lalu pak Soleh menjawab sambil terkagum-kagum akan masjid tersebut
“Iya nak, Bapak dan Ibu melihat masjid yang megah itu”
Syifapun menjawab sambil tersenyum
“Itu adalah hadiah dari Allah untuk Bapak dan Ibu”
Pak Soleh dan ibu Sulastripun terkejut dan berkata
“Maksudmu nak? masjid megah itu diberikan untuk kami?”
Kembali Syifa menjawab dengan senyuman
“Betul Bapak Ibu. Masjid itu dibuat dari pahala kalian selama di dunia karena telah sabar dan baik mengurus Syifa. Maka Allah membuatkan masjid itu untuk Bapak dan Ibu”
Dengan kagum, bahagia dan terharu, pak Soleh dan ibu Sulastri menjawab
“Subhanallah, terima kasih ya Allah atas pemberianmu ini”
Lalu pak Soleh dan ibu Sulastripun melakukan sujud syukur di taman indah itu. Lalu setelah itu Syifa mengajak pak Soleh dan ibu Sulastri untuk masuk ke dalam masjid indah nan megah itu. Didalamnya telah disediakan sebuah sajadah yang terbuat dari sulaman benang emas yang berkilauan dan juga banyak baju koko dan mukena berwana putih bercahaya untuk pak Soleh dan ibu Sulastri. Keindahan dan kebahagiaan pak Soleh dan ibu Sulastri menjadi lengkap karena mereka dapat kembali bersama Syifa lagi. Merekapun hidup abadi di surga yang Allah janjikan untuk orang-orang yang sabar dan bertawakal kepadanya. Sesuai janji Allah pun membuatkan pak Soleh dan ibu Sulastri masjid yang megah karena pahala mereka mengurus Syifa yang saat di dunia statusnya adalah anak yatim piatu. Maka pak Soleh bu Sulastri dan Syifa dan kedua malaikat yang menyerupai kedua orang tua kandung Syifa hidup kekal dan bahagia di sana.
Kedua orang tua kandung Syifa sebenarnya belum meninggal mereka masih menjalani kehidupan normal di dunia abi dari Syifa bekerja sebagai seorang PNS sedangkan umi dari Syifa bekerja sebagai seorang ibu rumah tangga mereka telah dikaruniai seorang anak laki-laki berusia 9 tahun yang bertubuh normal tidak kurang suatu apapun yang mereka beri nama Muhammad rivai. Mereka sebenarnya menyesali perbuatan mereka membuang Syifa 16 tahun yang lalu namun mereka tak punya pilihan saat itu. Maka yang mereka dapat lakukan sekarang hanyalah berdoa kepada Allah untuk anak mereka yang mereka tak tahu masih hidup ataukah sudah meninggal dunia., Serta memohon ampun atas dosa yang mereka perbuat dahulu terhadap anak perempuannya tersebut kepada Allah SWT.
“Allah selalu memperhatikan hambanya dan selalu tahu yang terbaik untuk hambanya tanpa membeda-bedakannya, namun terkadang kita sebagai manusia tak pernah mau mengerti dan kurang bersyukur dengan apa yang diberikan oleh-Nya, maka mari kita lebih bersyukur kepada Allah atas semua yang kita dapatkan baik itu hal yang kecil maupun sesuatu yang besar tetap bersikap rendah hati dengan menciumi tanah mengunakan kening kita sebagai tanda bahwa kita takut dan patuh terhadap-Nya. Mari kita selalu mengucapkan Bismillah dalam memulai sesuatu dan mengakhirinya dengan Hamdallah.”
TAMAT
[Mohon kritik dan saran serta masukan nya terima kasih]